Mungkinkah bila kubertanya pada bintangbintang
Dan bila kumulai berasa bahasa kesunyian
Sadarkan aku yang berjalan dalam kehampaan
Terdiam, terpana, terbata, semua dalam keraguan
Aku dan semua yang terluka karena kita
Lepas kumelayang
Biarlah kubertanya pada bin tang-bin tang Tentang arti kita dalam mimpi yang sempurna
("Mimpi yang Sempurna" oleh Peter Pan)
Senja masih muda tatkala mentari mulai bersiap berangkat ke peraduan, berselendang langit berwarna jingga keemasan. Azan asar baru saja sekitar setengah jam lalu selesai diperdengarkan para muazin di ketinggian menara-menara masjid. Jakarta tampak lelah dengan segala ketegangan dan keterikan sesiangan barusan. Sebuah patas AC yang berjalan selambat keong sedang sakit gigi melenggang anggun membelah Sudirman yang mulai macet oleh kendaraan berbagai merek dan jenis.
Di atas patas AC sebetulnya dulu sekali, waktu bus jenis itu baru diluncurkan pemda DKI melalui Perum PPD tahun 50-an, kalau tidak salah, ada semacam undang-undang tak tertulis yang melarang pengamen, peminta sumbangan, apalagi tukang asongan dan tukang palak beraksi di atasnya. Itu juga yang membuat supir dan kondekturnya galaknya minta ampun terhadap para pekerja informal sejenis mereka itu. Namun, ketika krisis ekonomi makin meluas di tanah air ini, terutama paska reformasi, keheningan dan suasana penumpang terkantuk-kantuk keenakan di dalam patas AC tinggal kenangan masa lalu. Sekarang patas AC nyaris tidak ada bedanya dengan bus reguler biasa. Sarna-sarna penuh sesak, berjalan lambat, kotor, bau, dan ... berseliweran segala macam pengamen, peminta sumbangan, pengasong, hingga tukang palak, dan juga tukang bajak bus. Yang belakangan ini biasanya bocah SMU yang lagi tawuran. Dua orang pemuda tanggung baru saja naik ke atas patas AC dengan meloncat bagai bajing. Yang seorang berambut kriting mie rebus (maksudnya basah dan kriting kucai sebab keringatan) menyandang sebuah gitar bergambar bibir menjeleh ala Mick Jagger. Yang satu lagi berambut cepak ala TN! dan bertubuh lebih kurus mulai membuka dengan sambutan ala kadarnya.
Seorang perempuan berusia tiga puluhan lebih sedikit, duduk di bangku dua-dua yang baris sebelah kiri supir deret nomor dua, tampak agak terkantuk-kantuk. Dalam hatinya berharap semoga yang satu ini nggak seperti yang barusan turun. Seorang pemuda berambut gondrong gimbal sepunggung dengan serenceng gelang di tangannya dan rantai anjing di lehernya baru saja turun sebelumnya. Ia mengamen dengan membacakan sebuah 'puisi' tentang reformasi yang terdengar basi dan dengan berteriak atau menjerit melengking, membuat kupingnya dan kuping semua penumpang nyeri. Bukan tidak berjiwa sosial atau apalah namanya, tapi sumpah, pengamen jenis yang tadi lebih terasa mengganggu ketimbang memberi kesempatan penumpang yang butuh istirahat sejenak merasa simpati dan mengulurkan recehan ke kantung bekas permennya. Demi Allah, aku ingin sedikit saja bermimpi, tidur sejenak. Aku lelah teramat capek. Please, mohon si perempuan dalam doa sesaatnya tatkala melihat dua orang pemuda pengamen tadi. Namun, ia malah tercenung ketika kedua pemuda tersebut mulai memetik gitar dan mendendangkan lagunya. Ia kemudian berusaha mengingat, ia rasanya begitu sering mendengar lagu yang terasa merdu di telinganya itu, but when? Sejenak kemudian ia mendapati jawabannya. Lagu "Mimpi yang Sempurna" yang dibawakan kelompok Peter Pan, yang kasetnya sering disetel oleh pembantunya yang ABG sekeras panggung gembira di belakang rumahnya setiap ada acara kawinan.
Tuhan, sungguh, ia bagai mengalami deja vu. Seluruh jiwanya bagai terlucuti dari raganya. Ia terbang menjelajah ke sebuah negeri entah. Yang disana ia menemukan sesuatu bernama kedamaian dan istirahat. Sesuatu yang teramat mahal, hingga tak terbeli olehnya kini. Di sana, ia begitu disayangi, diperhatikan, dimanja, dimanusiakan. Ada wajah-wajah yang teramat memenuhi kalbunya selama ini. Anak-anaknya yang tiga orang. Ibunya yang sudah setengah tua dan agak kegemukan karena diabetes.
Rasanya ia pernah merasakannya. Entah kapan, dimana, dan dalam momen apa. Tapi ia tahu, ia rindu sangat pada kedamaian itu. Pada sejuknya hati dan perasaannya. Pada hamparan senyum dan kebahagiaan yang saat ini seperti hilang menguap entah kemana. Lalu tiba-tiba sesayup ia mendengar mereka berucap padanya "Hasta Manana" yang artinya see you, sampai jumpa dalam keadaan yang lebih baik lagi. Lalu ia seperti terjatuh. Sakit. Luka. Kosong. Gelap. Hampa. Dingin. Ia menyentuh bumi kembali bertepatan dengan sebuah kantung bekas permen disodorkan ke mukanya. "Maaf, mbak, permisi. .. " sopan suara si pemuda berambut eepak, sang vokalis tadi. "Oh ya ... ya ... maaf... tunggu ya" Tergeragap ia meneari sesuatu di dalam tasnya. Tanpa melihat lagi ia memasukkan uang itu ke dalam kantung si pengamen. Ia merasa perlu berterima kasih pada dua pengamen tadi, yang membuatnya serasa terbang entah kemana, meski sesaat. Si pengamen melongok sejenak ke dalam kantungnya. Seketika wajahnya berbinar senang. "Ma kasih mbak. Makasih banget!" ujarnya tulus.
Tapi perempuan itu tak terlalu peduli. Ia sedang sibuk mencerna, ada apa dengan dirinya sebenarnya? Bahkan hingga patas AC itu mengakhiri rit-nya di terminal blok M yang bising, pengap, dan kotor. Juga hingga perempuan itu meloneat lineah menaiki metro mini berwarna oranye pudar bernomor 69. Hingga ia turun di dekat rumahnya, Kreo.
***
Sandrasari, nama perempuan itu. Ia adalah seorang istri, ibu tiga anak, seorang dosen pada sebuah perguruan tinggi swasta terkenal di Jakarta, seorang sarjana sarjana sastra inggris yang lulus summa cum laude, seorang mantan aktivis yang pernah bergabung dengan para mahasiswa, saat musim demo sebelum jatuhnya Orba, tahun 98. Waktu ia baru jadi dosen. Waktu Soeharto sedang mengunjungi Dresden dan didemo mahasiswa. Lalu sebulan kemudian ia hijrah, menetapi kemuslimahannya. Lalu menikah tanpa proses yang bertele-tele dan melelahkan. Lalu punya anak. Dan memulai sebuah kehidupan yang tak pernah dibayangkan dan diimpinya.
Kehidupan berumah tangga yang ia kira akan memberinya sesuatu bernama kedamaian yang dulu lama ia impikan sejak kecil. Sejak ia menyadari sesuatu telah terjadi antara ibu dan ayahnya. Saat ia berusia enam tahun dan masih terlalu dini untuk mengenal kata perpisahan apalagi pereeraian, ketika ayahnya angkat kaki dari rumah dan meninggalkan potret dramatis pertama yang dilihat mata kanak-kanaknya. Potret ibunya yang ibu rumah tangga sejati, yang tulus, yang bakti penuh pada ayah, yang sejatinya tak boleh disakiti, menangis sesenggukan. Bahkan hingga berlutut di kaki ayah. Namun laki-Iaki itu tak bergeming. Ia pergi dengan sejuta tangis bergema di hatinya. Juga di hati lima adiknya yang jarak usianya terlalu rapat itu.
Kedewasaan kemudian menyergapnya demikian eepat. Seeepat kilat. Ketika kelas tiga SD ia sudah biasa menjajakan kue-kue keeil buatan ibu ke sepanjang kampung. Bahkan hingga ke kantin sekolah. Dimana ia kemudian tak hirau dengan ejekan siapapun. Hatinya membaja. Ia tak peduli saat orang ramai meledeknya. "Ayahmu kawin lagi! Makanya kamu ditelantarkan begini, kudu kerja keras.
Saat usianya meninggi, ia menjelma menjadi kuda sembrani sebab lecutan yang terlalu kerap ia terima lewat hati dan telinganya. Ia berlari bersama angin dengan prestasi sekolah dan segala kejuaraan bakat yang diikutinya. Ia memimpin adik-adiknya untuk bangun, dan pada akhirnya ibunya. Ia kemudian mengambil alih tampuk pimpinan keluarga saat ia telah lulus kuliah, dengan bekerja keras. Kerja dan kerja.
Maka ketika ia menjadi nyonya dan mendapati bahwa iapun ternyata tak bisa berbagi beban dengan laki-laki yang menjadi suaminya, ia mengerti dengan sangat.
* * *
Lihatlah, laki-laki itu pulang. Oh, jam sebelas malam. Air mandi hangat dan segelas susu coklat panas telah tersedia. Hidangan makan malam telah tersusun sejak tadi. Sandra tak ingin bertanya.
"Aku lagi garap film dokumenter tentang pengamen jalanan, ma", ujar ayah anak-anaknya itu. Ia seorang scriptwriter freelance. Ia lebih suka menjadi outsourcing worker ketimbang bekerja tetap pada sebuah instansi, sebab jiwanya yang merdeka tak bisa terkungkung. Sebab ia seorang seniman. Seniman saleh, demikian laki-laki itu sering berkelakar. Tak apa. Toh, laki-laki itu tidak mengerjakan pekerjaan haram atau jahat.
"Oh, bagus. Rencannya, berapa lama proyeknya?"
"Mungkin tiga bulan, itu paling cepat. Mmm ... masih ada simpanan? Bisa talangin dulu? Sebab aku baru dapat uangnya nanti, diujung".
Selalu begitu. Biasanya uang hasil akhir tak pernah mengucap selamat jumpa dengannya. Ditabung untuk biaya hidup kelak, kata sang suami. Tak apalah. Meski ia tak pernah melihat wujudnya.
"Ya, ada sedikit. Untuk biaya sehari-hari pakai uang mama juga kan? Belum untuk ngirim Ibu dan mamamu yang mau perbaiki rumah".
"Kalau ikhlas, ya kasih aku. Maklumlah suamimu ini kan bukan orang kaya".
Selalu begitu. Kaupun tahu, aku bukan orang kaya. Batin Sandra. Terlebih aku perempuan. Tapi aku bekerja banting tulang untuk hidup tiga rumah tangga. Rumah tangga kita dengan tiga anak yang masih kecil dan dua pembantu. Rumah tangga ibuku dan dua adikku yang masih nganggur. Dan rumah tangga mamamu yang setiap bulan ada saja pengeluaran besarnya. Aku hanya dosen swasta. Aku hanya perempuan. Aku hanya ibu. Tapi aku adalah baja. Yang tak boleh mengeluh, meminta, apalagi bermanja sedikitpun. Aku bahkan mesti menelan liur membayangkan sepuluh ribu uang hasil keringat suami mampir ke dompetku. Untuk sekedar bayar TPA-nya si sulung di masjd sore hari. Alih-alih untuk beli perhiasanku.
Namun semua hilang di rongga dada. Tak apalah. Aku selalu harus menjadi baja. Meski aku butuh dimanja seperti emas, atau hanya seperti poselen bahkan. Batin Sandra ribut berceloteh.
* * *
"Eh, ini kalung dari suamiku. Hadiah ulang tahun pernikahan lho", pamer Erna, teman sesama dosen.
"Aku ganti hp nih. Sony Ericsson. Hadiah dari suami karena aku naik jabatan" , ini juga kata ternan sesama dosen, Hilda.
"Kami habis ke kebun binatang kemarin, kak. Sekeluarga. Seneng deh", cerita Fifi, adiknya yang nomor dua. Matanya bersinar bahagia.
"Ma, si Eddy habis dibelikan VCD Finding Nemo sarna papanya. Bagus deh", lapor si sulung yang cerdas.
"Ma, papa mana ya? Kok nggak pernah ikut kita ke mall?" Lagi-Iagi si sulung yang kenes. Gleg! Sandra menelan ludahnya. Pahit.
Kerongkongannya segera mengering lagi. Ia mengatur nafasnya. Huuh, hayo siap, komandan! Bangun! Perintahnya pada dirinya sendiri.
* * *
"Ma, aku mau pergi ke Surabaya. Lanjutan pembuatan film dokumenter ten tang pengamen. Kan di Surabaya banyak juga".
"Berapa lama?"
Di luar suara jengkerik menyanyikan lagu malam. Sudah pukul sepuluh tatkala laki-Iaki itu pulang.
"Dua minggu".
Oh, ingin rasanya Sandra menghilang dalam pekatnya malam.
"Pa, anak -anak ... "
"Sudahlah, aku capek". Laki-Iaki itu ngeloyor ke kamar mandi. "Air mandiku sudah?"
"Sudah", jawab Sandra yang nyaris seperti gumam.
Betul, Tuhan, aku rindu bertatap muka langsung saja dengan-Mu. Atau dengan Rasul-Mu juga bisa. Aku ingin curhat. Maka biarlah aku menghilang dalam pekatnya malam. Sebab aku hampa. Tanpa bobot.
Esoknya, ia ajak seluruh keluarganya pergi ke Ragunan. Tanpa sang ayah. Pulangnya ia menyewa VCD Finding Nemo dan memutarnya hingga tiga kali dan anak-anak hafal ceritanya.
* * *
Dan hari inipun. Saat ia ingin berbagi sesuatu tentang beasiswa S2 nya di Monash, Australia, yang telah lama diterima. Juga tentang paspor dan visanya yang sudah beres. Tentang keberangkatannya sebulan lagi. Bukan ia tak bercerita sebelumnya. Tapi bahkan telinga untuk sekedar mendengarpun sudah tak ia miliki.
"Pa, mama mau bicara ... "
Laki-laki itu berbalik sejenak. Ia tak ke kantor sejak tadi. Sudah lama proyeknya selesai dan kerjanya hanya main internet di warnet temannya di dekat kampus Budi Luhur. Pagi hingga jelang maghrib. Katanya cari lamaran outsorcing lagi. Lagi dan lagi.
"Huaah" ada apa sih? Ngantuk aku!"
Dan laki-laki itu memunggunginya kembali.
Meneruskan mimpinya yang tertunda. Apakah hanya ia yang berhak bermimpi? Sedang aku, bermimpi sajapun sudah tak bisa. Sandra menggigit bibirnya. Perih sekali.
Paginya ia mengumpulkan ketiga anak dan kedua pembantunya. "OK, sekarang siapa yang mau ikut mama?"
Semua mengangguk. Sang komandan itu memandang berkeliling. "Siap ikut berjuang bareng mama?"
Lagi-lagi anggukan mantap.
Sang komandan tersenyum lega.
"Papa lkut ma?" Sisulung yang kaykanya mewarisi ketegasannya angkat bicara
Ia merandek sejenak "Hhhmmm...coba kamu tanyakan kalau papa pulang nanti
Mama tanya kemarin, tapi papa terlalu capek dan tertidur sebelum menjawab". Hhmmm, wise enough.
* * *
"Mama jadi S2 kah?"
"Ya. Kenapa memangnya, pa . . ? Tumben perhatian?"
Tentu saja saja. Kamu pikir aku ini apa? Aku ini suamimu. Masih hidup ma! Belum mati! Tapi kenapa mama tidak tanya papa dulu? Mams suka buat keputusan sendiri sih! yang kecil-kecil mungkin nggak apa-apa. Tapi ini hal besar! Dua tahun kamu pergi lalu aku gimana? Apalagi anak-anak ikut. Kamu sudah gila apa ma?
Ego laki-Iaki. Lalu kemana saja engkauu selama ini saat aku cari? Padahal aku hannya mau berbagi, ingin minta pendapat, ingin diimami. Ingin dibantu mengambil keputusan. Inngin ditanggapi ceritaku, dari mulai tentang kucing yang menumpahkan panci gulai hingga jenjang karirku sebagai dosen. Tapi kamu selalu dan selalu menuntut aku tidak 'pengaduan', memecahkan semua sendiri, dan hanya butuh untuk kudengarkan ceritamu.
Tahukah engkau sejak lama aku telah jadi kepala keluarga di sini?
Tahukah kamu bahwa aku bahkan sudah tak lagi bisa membedakan apakah aku ini ayah atau ibu bagi anak-anak kita?
Mata Sandra mengabur. Saat ia dalam diam memberikan disket catatan hariannya pada sang suami. "Bila papa ada waktu, tolong baca. Mama speechless" Dingin. Lebih dingir: dari temperatur terdingin di dunia di Mansk, RUSla yang mencapal hingg 57-89 derajat Celcius di bawah nol. Tegas seperti komandan pada anak buahnya. Lalu Ia pergi tidur ke kamar si sulung.
* * *
Sebulan yang dingin. Perempuan itu membeku seperti es. Laki-Iaki itu buntu, tak bisa berpikir. Makin banyak waktu ia habiskan dl warnet temannya. Entah browsing apa. Kadang hanya mendownload lagu dan nasyid untuk MP3. Kadang hanya surfing di situs untuk para jobseekers. Matanya hampa.
Lalu dunia menjadi abu-abu. Dingin. Kelam. Saat akhirnya laki-laki itu mesti mengantar istri, anak-anak, dan bahkan pembantunya, pergi ke Australia. Laki-Iaki itu telah mengalah dengan sebuah kalimat mengizinkan bagi kepergian Istrinya Itu. Laki-Iaki itu menghilang dalam kehampaan pekatnya malam. Ia menangis. Jujur.
Di atas pesawat, seorang kandidat master perempuan memeluk erat ketiga anaknya, seakan ingin menyalurkan sebuah energi yang sangat besar bagi mereka. Bahkan juga seolah iapun begitu ingin menyerap energi dan semangat yang besar dari ketiga bocah lugu itu.
Teach me how to dream ... Aku lelah menjadi sekeras baja, sungguh.
Dan ketika burung besi itu menghilang dalam pekat malam, Sandra merasa matanya hangat. Ia menangis. Jujur. Tapi entah sebab apa, Ia tak peduli. Ia hanya ingin menangis. Sebab ia hanya seorang perempuan, seorang istri, seorang Ibu ternyata ...
***
Taken from 'Langit Masih Biru' by Iva Avianty
18 April 2008
Mimpi Sandra
10:14:00 PM
Bunda Naila
1 comment
1 comments:
hiks.. hiks...
kok akhirnya jadi gini sih....
sesal selalu datang belakangan...
*mengusap air mata
Post a Comment