27 November 2005

Rumahku Bukan Istanaku Lagi...

Saat saya membaca artikel dengan judul diatas yang dimuat di Kompas Minggu, 13 Nov 2005 lalu, saya agak terenyuh. Pasalnya, apa yang diuraikan dan diungkapkan dalam artikel tersebut sering saya temui dalam lingkungan sosial saya diluar rumah. Bahkan dulu, sebelum saya menikah, saya pun sempat menjadi bagian dalam komunitas "after hours". Walaupun cuma sekedar nonton bareng, makan atau ngobrol di cafe setiap jum'at (weekend) malam. Bahkan setelah menikah pun, saya sempetkan untuk ngumpul bareng teman-teman kuliah setiap sebulan sekali, tentunya dengan ijin suami ataupun ditemani suami.
Namun kebiasaan tersebut hilang dengan sendirinya dan Saya pun ikhlas mengmisahkan diri dari komunitas tersebut setelah lahir Naila. Bagi Saya, setiap detik waktu yang Saya punya ingin saya lewatkan bersama Naila dan tentu juga Ayahnya. Rasanya semua keletihan dan kepenatan Saya selama bekerja ataupun saat mengalami kemacetan dalam perjalanan, langsung lenyap saat melihat senyum dan lonjakan gembira Naila saat menyambut Saya pulang. Percaya atau tidak, rasa ngantuk, capek ataupun lapar langsung sirna seketika saat melihat Naila. Bahkan Saya pun bisa menunda makan malam Saya sampai acara meninabobokan Naila selesai. Rasanya menyesal sekali kalau saat Saya pulang Saya tidak sempat bertemu Naila karena dia sudah tidur. Itulah keajaiban dan kekuatan dari keluarga yang Saya alami.
Makanya Saya sedikit kaget, bagaimana mungkin seorang Ibu yang bekerja seharian diluar rumah dan meninggalkan anaknya, masih ingin menunda untuk pulang kerumah hanya untuk kepuasaan atau kepentingannya sendiri. Mungkin kalau untuk yang masih singgle Saya masih bisa memahami, walaupun sebenarnya pola kehidupan seperti nggak harus menjadi identitas seorang wanita pekerja (baca:karir -red). Bolehlah sekali-kali tapi bukan merupakan bagian hidup, toh waktu yang ada bisa digunakan untuk kegiatan lain yang lebih bermakna terutama dengan keluarga. Bahkan anggaran yang nggak bisa dibilang sedikit untuk pola hidup seperti itu, bisa ditabung untuk masa depan kelak setelah menikah.
Mudah-mudahan, wacana dibawah ini bisa me-refresh kita tentang essensi sebuah keluarga. Karena bagaimanapun, hidup kita yang singkat ini harus kita isi dengan sesuatu yang bermakna dan bernilai sebagai bekal kelak di kehidupan kita yang kekal nanti.
Happy reading....
Bunda Naila
***
Rumahku Bukan Istanaku Lagi...
Tanpa terasa, kita semakin terlipat dalam ketergesaan dinamika kota besar. Jalan semakin macet, letak rumah semakin ke pinggiran, dan hadangan-hadangan seperti 3 in 1 membawa pergeseran makna pada satu kata: pulang. Kata "pulang" tidak lagi dihubungkan dengan rumah. Rumah yang dimaksud di sini tentu bukanlah sekadar sebuah benda dengan atap, pintu, dan
jendela. Akan tetapi, sebuah suasana di mana semuanya menjadi sederhana. Ketika kepenatan di dunia kerja yang selalu menuntut selesai, rumah adalah sebuah oase yang akan menerima diri kita apa adanya. Namun, kota besar yang sudah mengisap energi kita dengan kemacetan sejak
pagi menuntut lain. Ia tidak "mengizinkan" kita untuk pulang. Bagaikan terpenjara, waktu pulang kerja atau yang sering diistilahkan after hours, kita tetap terperangkap di dalamnya, mengonsumsi di dalamnya, dan merasa hidup di dalamnya.

"Pulang? Ngapain di rumah?" kata Indah Sari (28), karyawati BP Migas yang hampir setiap hari mengisi waktunya pulang kantor dengan ke kafe, latihan golf, atau main boling. Bagi Indah, waktu pulang kantor justru adalah waktu yang paling enak untuk dihabiskan nongkrong bersama teman-teman. Sejak pertama kali bekerja tahun 2002, ia dan kawan-kawannya selalu
mencoba satu kafe ke kafe lain. Kalau lagi tidak ke kafe, ia pergi ke driving range untuk melatih pukulan golfnya. Kalau tidak sedang berlatih golf, ya ia bisa ditemui di tempat-tempat main bilyar seperti di Automall, di kawasan Sudirman. "Rugi kalau langsung pulang," kata Indah
yang berangkat dari rumah ke kantor setiap hari pukul 06.00. Melepas stres Seperti Indah, Elisabeth (23), karyawan PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) hanya berpandang-pandangan dengan kawan-kawannya sesama penggemar bilyar di Spincity EX saat ditanya, seminggu berapa kali langsung pulang ke rumah. "Kapan ya ? Ha-ha-ha-... paling sebulan tiga kali," katanya.

Bagi orang-orang seperti Indah dan Elisabeth, pulang usai jam kantor sama saja seperti menjebakan diri ke dalam kemacetan. Elisabeth misalnya, membutuhkan waktu minimal tiga jam dari kantornya di Jalan Gajah Mada ke rumahnya di daerah Duren Sawit, Klender. Makanya, sambil melepas stres setelah suntuk-menurut istilah Elisabeth-di kantor, ia memilih untuk bermain bilyar pukul 18.00 dan baru beranjak pulang ke rumah sekitar pukul 23.00.

Akhirnya, apa yang disebut rumahku istanaku atau home sweet home hanya sekadar menjadi tempat meletakkan kepala untuk tidur. Rumah direduksi maknanya menjadi sekadar tempat persinggahan sementara alias transit, setelah hidup dihabiskan di kantor dan di pusat-pusat kegiatan kota besar seperti mal dan kafe. Kalau arus dinamika sosial sudah sedemikian keras menyeret kita jauh dari rumah, adalah naif ketika orang bingung, kenapa hubungan sosial bahkan dengan keluarga pun menjadi renggang akhir-akhir ini. Identitas lebih dibentuk di luar rumah, misalnya oleh kawan-kawan sepermainan atau oleh citra media dan dunia iklan. Indah misalnya, sudah sejak kuliah di FISIP UI tahun 1995 memiliki tiga teman yang semuanya perempuan untuk bercerita tentang cinta dan cita. Bertemu sebulan sekali, masing-masing pun menceritakan kemajuannya soal pekerjaan dan tentu saja pacar. Kini, semuanya telah menikah. "Tapi mereka juga yang ngasih masukan... ama dia aja... kayaknya orangnya baik," cerita Indah
yang bulan Agustus lalu menikah dengan Ivan (29).

Secara sosial, komunitas yang rata-rata seusia dan memiliki status sosial yang sama ini lalu membentuk keluarga baru. Hal ini misalnya dialami Indah. Menurut dia, berkat aktivitasnya di lokasi-lokasi driving range, ia berhasil membentuk komunitas baru. Datang ke driving range
langganannya di Senayan ibarat pulang ke rumah. "Kalau kita datang, langsung hai-hai ama yang lain, kan udah pada kenal," kata Indah.

Dinamika urban ini muncul dalam berbagai macam wajah. Selain kafe, bilyar, dan main golf, fenomena yang sedang tren adalah nge-gym yuk !Ajakan akrab ini dengan mudah dapat dilihat di berbagai pusat perbelanjaan, di mana olahraga seperti lari di treadmill telah menjadi
sebuah gaya hidup yang dipajang di etalase.
Sianita Angraiany (25), seorang wirausahawati mengatakan, daripada pulang kerja dia langsung pulang, lebih baik dia berolahraga. Di rumah relatif tidak ada yang bisa dia kerjakan. Paling-paling hanya makan terus tidur. "Pulang kerja tubuh capek. Inginnya makan terus tidur.
Kalau begitu terus, perut lama-lama gendut," kata Sianita yang masih lajang ini. Sejak lama Sianita senang berolahraga di pusat kebugaran. Namun, biasanya dia berolahraga di tempat-tempat di sekitar rumah. Ternyata, fitness di dekat rumahnya tidak mengasyikkan karena selain alatnya tidak lengkap, teman-teman pun sedikit. Ketika di Plaza Semanggi dibuka
Fitness First, Sianita langsung daftar. "Ternyata selain bisa fitness dengan alat yang lebih lengkap dan suasana yang nyaman, saya juga dapat banyak teman. Kami bisa nongkrong sambil minum kopi atau teh gratis,"ujar Sianita.

Ratu Windy (28), ibu seorang putri berusia tiga tahun juga demi hobinya berolahraga tidak keberatan pulang kerja langsung ke pusat kebugaran, dan baru pukul 20.00 dia pulang ke rumah. "Sama saja, kalau aku langsung pulang ke rumah, di jalan macet banget. Kalau aku fitness dulu, badan segar dan sehat. Toh selama aku tinggalkan, putriku itu diasuh oleh eyangnya," kata Windy. Bagi Windy, olahraga adalah cara terbaik untuk mengisi waktu. Suaminya yang bekerja di pertambangan hanya pulang empat bulan sekali. Jadi tidak ada yang banyak bisa dia lakukan di rumah. Menurut Windy, nge-gym sudah menjadi gaya hidup orang muda. "Dulu fitness itu untuk orang tua yang menjaga kesehatan jantung, kalau sekarang anak muda ya nge-gym, selain ngeceng, bentuk badan juga jadi bagus," kata Windy yang segera ditimpali Sianita, "Supaya bisa pakai celana hipster...."
Paket-paket
Kota besar yang dinamis dan seksi seperti tren celana hipster ini mengundang kita untuk tidak langsung pulang ke rumah. Berbagai pembenaran dan alasan diberikan agar kita tetap bergelut di dalamnya. Mulai dari menjaga kebugaran tubuh sehingga membina relasi agar memperlancar urusan pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan jadi mengisap apa yang tadinya secara tradisional adalah waktu yang dikhususkan untuk keluarga. Ada sebuah keseimbangan yang dirusak di sini.
Daniel Tumiwa, mantan model dan Marketing Director PT Universal Music Indonesia misalnya memanfaatkan waktu-waktu after hours untuk hal-hal yang masih berkaitan dengan pekerjaan. Bagi Daniel, tempat-tempat itu membuatnya merasa nyaman membicarakan banyak hal seperti pembuatan video klip musik atau kegiatan promo artis. Pengakuannya, ide-ide kreatif justru muncul pada saat sedang mengobrol dengan santai. "Untuk urusan masalah kreatif pekerjaan, gue memilih untuk ketemu orang-orang di luar kantor," kata pria yang biasanya memilih kafe atau restoran di EX Plasa Indonesia, Cilandak Town Square, Plasa Senayan, atau Plasa Semanggi. Hal serupa dialami Indah yang sehari-hari bekerja di BP Migas di bagian hubungan pemerintah dan masyarakat. Di driving range misalnya, selain mendapat tawaran nomor-nomor cantik dari operator seluler, ketika hendak mengadakan acara dengan pihak luar, Indah mendapat kemudahan. "Kan udah kenal," katanya memberi alasan.

Terakhir, apa pun yang ditawarkan dunia konsumsi ini hampir pasti berarti ada harga yang harus dibayar. Bagi para profesional yang kini telah memiliki otoritas untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya, paket-paket after hours muncul dalam berbagai bentuk. Dan bagi para
profesional muda kota besar alias yuppies ini, uang tidaklah menjadi masalah. "Asal tempatnya enak buat duduk, ngobrol, harga sih nomor dua,"kata Indah. Elisabeth misalnya, mengaku menghabiskan sampai sekitar 75 persen dari gajinya untuk kegiatan-kegiatan usai kantor. Bagi lulusan akademi sekretaris yang masih tinggal dengan orangtuanya ini, angka itu tidak menjadi masalah, yang penting ia bisa menghilangkan rasa bosan dan stres di tempat kerja. "Udah kebiasaan sih," katanya.

Indah yang memilih tempat tanpa merasa perlu memperhatikan harga makanan atau fasilitas yang ditawarkan mengatakan, ia rata-rata menghabiskan Rp.150.000 setiap hari untuk aktivitas after hours itu. Namun, bagi Indah yang sekarang sering nongkrong dengan suaminya, Ivan, hal itu tidak menjadi masalah. Baginya, saat-saat muda ini harus dinikmati.
Entah karena rumah kehilangan daya tariknya bagi para profesional muda kota besar ini, ataukah kita memang secara terpaksa harus terisap kedalamnya. Sehingga, kalau sekiranya ada celah-celah bagi kita untukpulang, kesempatan dalam kesempitan itu akan kita usahakan semaksimal mungkin. Seperti yang dikatakan Daniel Tumiwa: "Kalau kerjaan sudah beres, ya pulang. Keluarga saya menunggu di rumah," katanya. (M CLARA WRESTI/DAHONO FITRIANTO)

19 November 2005

Semangkuk Mie

Category: Renungan

Malam itu Ana bertengkar dengan ibunya. Karena sangat marah, Ana segera meninggalkan rumah tanpa membawa apapun. Setelah berjalan jauh, ia baru menyadari, bahwa ia sama sekali tidak membawa uang. Ketika melewati kedai bakmi dan mencium harumnya aroma masakan, perutnya menjadi terasa sangat lapar. Namun ia tidak mempunyai uang.

Pemilik kedai melihat Ana berdiri cukup lama di depan kedainya, lalu ia bertanya, "Nona, apakah engkau ingin memesan semangkuk bakmi ?" "Ya, tetapi aku tidak membawa uang," jawab Ana dengan malu-malu.
"Tidak apa-apa, aku akan memberimu bakmi tanpa harus membayar," jawab si pemilik kedai. "Silakan duduk, aku akan memasakan bakmi untukmu."
Tak lama kemudian pemilik kedai mengantarkan semangkuk bakmi. Ana segera makan beberapa suap, kemudian air matanya mulai berlinang.
"Ada apa non ?" tanya si pemilik kedai.
"Tidak apa-apa. Aku hanya terharu," jawab Ana sambil mengeringkan air matanya.
"Kau seorang yang baru kukenal, tetapi begitu perduli padaku, sementara ibu kandungku sendiri telah mengusirku setelah bertengkar denganku, bahkan mengatakan agar jangan kembali lagi kerumah," jelasnya kepada pemilik kedai.

Mendengar ucapan Ana, pemilik kedai menarik nafas panjang dan berkata "Nona, mengapa kau berpikir seperti itu? Renungkanlah hal ini, aku hanya memberimu semangkuk bakmi dan kau begitu terharu. Ibumu telah memasak bakmi dan nasi untukmu sejak kau kecil sampai saat ini. Mengapa kau tidak berterima kasih kepadanya ? Kau malah bertengkar dengannya".

Ana terhenyak mendengar hal itu. Ana segera menghabiskan bakminya, lalu menguatkan hati untuk segera pulang ke rumah. Saat berjalan ke rumah, ia memikirkan kata-kata yang harus di ucapkan kepada ibunya.

Begitu sampai di ambang pintu rumah, ia melihat ibunya dengan wajah letih dan cemas.
Kalimat pertama yang ia dengar dari ibunya adalah "Ana, kau sudah pulang, cepat masuklah,
Ibu telah menyiapkan makan malam untukmu. Makanlah dulu sebelum kau tidur." Saat itu Ana tidak dapat menahan tangisnya dan iapun menangis di depan ibunya.

Source: Unknown

***
Kita sering menganggap pengorbanan orang tua kita merupakan suatu proses alami yang biasa-biasa saja, seakan-akan semua itu memang sudah kewajiban orang tua. Terkadang kita pun kadang lupa kewajiban kita sebagai anak dan hanya menuntuk haknya saja.

Sesunguhnya kasih dan keperdulian orang tua kita adalah nikmat paling berharga yang diberikan Allah pencipta sejak kita lahir.

Dedicated to my brother Faris, keep the hidayah and istiqomah.

Cheers
Bunda Naila

18 November 2005

Renungan dari seorang teman

Categories: Renungan Daily Story

Sekedar berbagi cerita pengalaman waktu mudik lebaran dan pasca
lebaran kemarin. Dari beberapa kejadian yang terjadi di sekitar Saya, Saya menyadari bahwa sungguh besar karunia Allah kepada hamba2-Nya. Rezeki, Jodoh, dan Mati semua adalah rahasia Alloh. Yang jika datang, hamba-Nya tak kuasa menolak.

Yang tadinya sukses dan banyak harta, sekarang jatuh bangkrut dan miskin.
Tentang jodoh, ada seseorang yang jodohnya tidak disangka-sangka ternyata teman sejak SD yang sudah lama nggak ketemu. Dia dimana, calonnya dimana. Dia biasa, calonnya luar biasa. Jauh dari perkiraan. Ya tapi memang itulah jodoh.
Kematian pun demikian, Pagi masih bercanda, masih ngobrol sebelum berangkat kerja, begitu pulang kerja ternyata suami telah berpulang ke rahmatullah.

Rasanya sangat begitu berat untuk bisa menerima apa yang telah Alloh takdirkan untuk kita. Namun dengan menyikapi bahwa itu semua memang kehendak Allah, hati akan terasa lapang menerima apakah itu senang maupun sedih.

Sebenarnya kunci dari semua itu adalah sabar,ikhlas dan Syukur dalam menjalani
semua itu. Sabar dan ikhlas saat dalam kesempitan dan bersyukur saat kita dalam kelapangan. Mungkin dalam tataran konsep ketiga hal tersebut terasa mudah. Namun dalam
tataran realita dan pelaksanaannya sungguh berat rasanya.

Saya sendiri belum berani membayangkan jika semua itu menimpa Saya atau keluarga. Sudahkan Saya mensyukuri nikmat Allah? atau hanya sebatas ucapan saja?
Mampukah Saya untuk ikhlas dan sabar jika mendapat musibah dari Alloh?

Sampai sekarang Saya masih mencari jawabannya dengan terus memacu diri untuk menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.


Cheers
Bunda Naila

Buat Tami, thanks for sharing with me

06 November 2005

Selamat Idul Fitri 1426 H

Category: Others

Jika hati sejernih air, jangan biarkan ia keruh,
jika hati seputih awan, jangan biarkan ia mendung,
jika hati seindah bulan, hiasilah ia dengan iman.
Andai jemari tak kuasa berjabat, setidaknya kata masih dapat terungkap...

Taqobbal Allahu Minna wa Minkum Kullu 'aamin wa Antum bikhoirin
Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1426 H
Minal 'aidzin wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin

Semoga rasa tawadlu', khusyu', kesungguhan dan kefitrahan senantiasa melekat dan menjadi pakaian kita.
Semoga amal ibadah kita diterima Allah Swt, dan kita semua diberikan kesempatan untuk bertemu kembali dengan Ramadhan tahun depan.
Amiin ya Rabbal 'alamiin.

Salam
Bunda Naila & Keluarga

 
Design by NATTA | Copyright @ ArisYantie - Bunda Naila Themes | Bunda Naila Corpuration