Rumahku Bukan Istanaku Lagi...
jendela. Akan tetapi, sebuah suasana di mana semuanya menjadi sederhana. Ketika kepenatan di dunia kerja yang selalu menuntut selesai, rumah adalah sebuah oase yang akan menerima diri kita apa adanya. Namun, kota besar yang sudah mengisap energi kita dengan kemacetan sejak
pagi menuntut lain. Ia tidak "mengizinkan" kita untuk pulang. Bagaikan terpenjara, waktu pulang kerja atau yang sering diistilahkan after hours, kita tetap terperangkap di dalamnya, mengonsumsi di dalamnya, dan merasa hidup di dalamnya.
"Pulang? Ngapain di rumah?" kata Indah Sari (28), karyawati BP Migas yang hampir setiap hari mengisi waktunya pulang kantor dengan ke kafe, latihan golf, atau main boling. Bagi Indah, waktu pulang kantor justru adalah waktu yang paling enak untuk dihabiskan nongkrong bersama teman-teman. Sejak pertama kali bekerja tahun 2002, ia dan kawan-kawannya selalu
mencoba satu kafe ke kafe lain. Kalau lagi tidak ke kafe, ia pergi ke driving range untuk melatih pukulan golfnya. Kalau tidak sedang berlatih golf, ya ia bisa ditemui di tempat-tempat main bilyar seperti di Automall, di kawasan Sudirman. "Rugi kalau langsung pulang," kata Indah
yang berangkat dari rumah ke kantor setiap hari pukul 06.00. Melepas stres Seperti Indah, Elisabeth (23), karyawan PT Transportasi Gas Indonesia (TGI) hanya berpandang-pandangan dengan kawan-kawannya sesama penggemar bilyar di Spincity EX saat ditanya, seminggu berapa kali langsung pulang ke rumah. "Kapan ya ? Ha-ha-ha-... paling sebulan tiga kali," katanya.
Bagi orang-orang seperti Indah dan Elisabeth, pulang usai jam kantor sama saja seperti menjebakan diri ke dalam kemacetan. Elisabeth misalnya, membutuhkan waktu minimal tiga jam dari kantornya di Jalan Gajah Mada ke rumahnya di daerah Duren Sawit, Klender. Makanya, sambil melepas stres setelah suntuk-menurut istilah Elisabeth-di kantor, ia memilih untuk bermain bilyar pukul 18.00 dan baru beranjak pulang ke rumah sekitar pukul 23.00.
Akhirnya, apa yang disebut rumahku istanaku atau home sweet home hanya sekadar menjadi tempat meletakkan kepala untuk tidur. Rumah direduksi maknanya menjadi sekadar tempat persinggahan sementara alias transit, setelah hidup dihabiskan di kantor dan di pusat-pusat kegiatan kota besar seperti mal dan kafe. Kalau arus dinamika sosial sudah sedemikian keras menyeret kita jauh dari rumah, adalah naif ketika orang bingung, kenapa hubungan sosial bahkan dengan keluarga pun menjadi renggang akhir-akhir ini. Identitas lebih dibentuk di luar rumah, misalnya oleh kawan-kawan sepermainan atau oleh citra media dan dunia iklan. Indah misalnya, sudah sejak kuliah di FISIP UI tahun 1995 memiliki tiga teman yang semuanya perempuan untuk bercerita tentang cinta dan cita. Bertemu sebulan sekali, masing-masing pun menceritakan kemajuannya soal pekerjaan dan tentu saja pacar. Kini, semuanya telah menikah. "Tapi mereka juga yang ngasih masukan... ama dia aja... kayaknya orangnya baik," cerita Indah
yang bulan Agustus lalu menikah dengan Ivan (29).
Secara sosial, komunitas yang rata-rata seusia dan memiliki status sosial yang sama ini lalu membentuk keluarga baru. Hal ini misalnya dialami Indah. Menurut dia, berkat aktivitasnya di lokasi-lokasi driving range, ia berhasil membentuk komunitas baru. Datang ke driving range
langganannya di Senayan ibarat pulang ke rumah. "Kalau kita datang, langsung hai-hai ama yang lain, kan udah pada kenal," kata Indah.
Dinamika urban ini muncul dalam berbagai macam wajah. Selain kafe, bilyar, dan main golf, fenomena yang sedang tren adalah nge-gym yuk !Ajakan akrab ini dengan mudah dapat dilihat di berbagai pusat perbelanjaan, di mana olahraga seperti lari di treadmill telah menjadi
sebuah gaya hidup yang dipajang di etalase.
Kalau begitu terus, perut lama-lama gendut," kata Sianita yang masih lajang ini. Sejak lama Sianita senang berolahraga di pusat kebugaran. Namun, biasanya dia berolahraga di tempat-tempat di sekitar rumah. Ternyata, fitness di dekat rumahnya tidak mengasyikkan karena selain alatnya tidak lengkap, teman-teman pun sedikit. Ketika di Plaza Semanggi dibuka
Fitness First, Sianita langsung daftar. "Ternyata selain bisa fitness dengan alat yang lebih lengkap dan suasana yang nyaman, saya juga dapat banyak teman. Kami bisa nongkrong sambil minum kopi atau teh gratis,"ujar Sianita.
Ratu Windy (28), ibu seorang putri berusia tiga tahun juga demi hobinya berolahraga tidak keberatan pulang kerja langsung ke pusat kebugaran, dan baru pukul 20.00 dia pulang ke rumah. "Sama saja, kalau aku langsung pulang ke rumah, di jalan macet banget. Kalau aku fitness dulu, badan segar dan sehat. Toh selama aku tinggalkan, putriku itu diasuh oleh eyangnya," kata Windy. Bagi Windy, olahraga adalah cara terbaik untuk mengisi waktu. Suaminya yang bekerja di pertambangan hanya pulang empat bulan sekali. Jadi tidak ada yang banyak bisa dia lakukan di rumah. Menurut Windy, nge-gym sudah menjadi gaya hidup orang muda. "Dulu fitness itu untuk orang tua yang menjaga kesehatan jantung, kalau sekarang anak muda ya nge-gym, selain ngeceng, bentuk badan juga jadi bagus," kata Windy yang segera ditimpali Sianita, "Supaya bisa pakai celana hipster...."
Kota besar yang dinamis dan seksi seperti tren celana hipster ini mengundang kita untuk tidak langsung pulang ke rumah. Berbagai pembenaran dan alasan diberikan agar kita tetap bergelut di dalamnya. Mulai dari menjaga kebugaran tubuh sehingga membina relasi agar memperlancar urusan pekerjaan. Akibatnya, pekerjaan jadi mengisap apa yang tadinya secara tradisional adalah waktu yang dikhususkan untuk keluarga. Ada sebuah keseimbangan yang dirusak di sini.
Terakhir, apa pun yang ditawarkan dunia konsumsi ini hampir pasti berarti ada harga yang harus dibayar. Bagi para profesional yang kini telah memiliki otoritas untuk menggunakan uang hasil jerih payahnya, paket-paket after hours muncul dalam berbagai bentuk. Dan bagi para
profesional muda kota besar alias yuppies ini, uang tidaklah menjadi masalah. "Asal tempatnya enak buat duduk, ngobrol, harga sih nomor dua,"kata Indah. Elisabeth misalnya, mengaku menghabiskan sampai sekitar 75 persen dari gajinya untuk kegiatan-kegiatan usai kantor. Bagi lulusan akademi sekretaris yang masih tinggal dengan orangtuanya ini, angka itu tidak menjadi masalah, yang penting ia bisa menghilangkan rasa bosan dan stres di tempat kerja. "Udah kebiasaan sih," katanya.
Indah yang memilih tempat tanpa merasa perlu memperhatikan harga makanan atau fasilitas yang ditawarkan mengatakan, ia rata-rata menghabiskan Rp.150.000 setiap hari untuk aktivitas after hours itu. Namun, bagi Indah yang sekarang sering nongkrong dengan suaminya, Ivan, hal itu tidak menjadi masalah. Baginya, saat-saat muda ini harus dinikmati.